Jalanan di kota besar adalah sekelumit sandiwara drama kehidupan. Tidak ada ruangan yang nyaman untuk bekerja di sana. tidak ada keteduhan...

Sebuah Pelajaran Dari Kota Cimahi

Jalanan di kota besar adalah sekelumit sandiwara drama kehidupan. Tidak ada ruangan yang nyaman untuk bekerja di sana. tidak ada keteduhan.

Iklim jalanan menyajikan panas disiang hari (kadang-kadang) dingin dimalam hari. Orang-orang yang ada disana bersekutu dengan angin, debu-debu, hujan, asap-asap kendaraan dan peluh-peluh yang melepuh.

Kendaraan seakan tak pernah berhenti. Selalu sesak berlalu lalang. Ramai dari pagi hingga petang. Setiap pagi menusia-manusia berhamburan. Entah kemana, entah apa yang dicari. Senja hari mereka pulang. Tengah malam lampu-lampu reklame dan palang nama-nama toko bersinar-sinar sementara di depan pintu-pintu toko yang tertutup itu banyak bocah-bocah dan orang-orang tua yang mengais-ngais sembarang benda.

Esok pagi datang lagi, perut tak mau berhenti lapar. Jalanan tak pernah mau tertidur. Malam siang –siang malam. Esok matahari datang lagi dan lagi, membangunkan gelandangan yang menahan lapar sejak kemarin.


Esok Pengamen-pengamen akan datang lagi menebar irama di jalanan, panas atau hujan mereka tidak peduli. Mereka tetap mengamen, tetap bersenandung. Esok ia akan datang lagi dan lagi dan entah sampai kapan profesi pengamen akan di pensiunkan dan melenyap dari jalanan.

Ah, belum lagi macet. Macet yang sama sekali tak menghibur. Salah satu sumber kedongkolan yang menjahili otak manusia kota.

Esok ia datang lagi..... Dan lagi . . .


Penulis : Mohammad Zahri

------------
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dari apa yang kulihat saat aku melakukan perjalanan ke Cimahi 23 September 2013 yang lalu. Saat itu aku menulis draft tulisan ini di dalam bus – bus Damri yang atapnya bocor.

0 komentar: