Terkadang aku bisa tiba-tiba termenung saat melewati atau melihat sesuatu yang dulunya hanya kulihat di buku atau tv namun kini terlihat langsung oleh mata kepala secara langsung.
Ada perasaan aneh yang tak mampu dijelaskan saat melewati ruang dan waktu itu. Sebuah kondisi dimana sebuah eksistensi yang terlihat terasa seperti sebuah ilusi.
Dahulu sekali, saat kuliah di Banda Aceh, sahabat baik ku Abdul Hakam pernah mentraktir aku makan bakso di samping masjid raya sepulang kuliah malam. Di atas kursi bakso itu aku menatap nanar kubah-kubah Masjid Raya Baiturrahman yang terlihat magis dan etnik itu.
"Rasanya Zahri ngak percaya ada disini, Kam" kataku pada Hakam.
"Rasanya Zahri ngak percaya ada disini, Kam" kataku pada Hakam.
"Kok Bisa?" Hakam memasang wajah heran.
"Dulu Zahri cuma melihat masjid ini di sampul kitab Surah Yasin, atau di kalender dan ngak pernah kepikiran datang kemari." Hakam terbengong, lalu ia tertawa dan menganggapku aneh.
"Ada-ada aja" katanya.
Di gedung sate, aku merasakan momentum itu, di Monas aku menemukan momentum itu kembali, dan tadi siang, sepulangnya dari Cikarang, aku kembali merasakan momentum yang sama di bawah haribaan sebuah monumen rancangan Edhi Sunarso (1964-1965). Tugu Pancoran (Patung Dirgantara) - lagi-lagi, dulunya patung ini hanya kulihat di televisi, Aku seperti menemukan motongan mozaik mimpi hidup ku.
Jreng!! Tugu Pancoran |
Ku kutip sebuah kalimat indah yang di interpretasikan Andrea Hirata dari pemikiran agung Harun Yahya....
0 komentar: